Mendampingi Masyarakat di Tengah Krisis Keyakinan


Kutipan dari fasilitator .org

Belajar dari perjalanan kelompok SIPATUO yang awalnya hanya berbekal semangat untuk bertemu dan kemudian melakukan kegiatan Simpan Pinjam, penulis teringat penegasan Fajar Jarwo saat membawakan materi Pemberdayaan Masyarakat pada ToT Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di Makassar beberapa waktu lalu. Oleh Haris

Beliau mengatakan: “kalau mau buat kapal, jangan sekali-kali cepat suruh masyarakat untuk mencari kayu. Kalau anda mau menyekolahkan anak, jangan langsung mendaftarkannya sebelum ia sadar bahwa sekolah itu susah dan butuh pengorbanan.”

”Ibu-Ibu Bisa Tonji Kodong Kodong,”  begitulah kalimat yang keluar dari bibir dari salah seorang warga masyarakat, yang kala itu penulis sebagai Fasilitator Kecamatan (FK) PNPM Mandiri Perdesaan berkunjung ke Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Sipatuo di Desa Salugatta di kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju.

Apa yang diungkapkan oleh seorang warga diatas, tentunya sangat beralasan sesuai kondisi dan kultur yang terjadi saat itu. Betapa tidak, selama ini perempuan hanya sibuk menghabiskan waktunya mengurus Rumah Tangga. Itu pun hanya didapur, tempat tidur, dan kamar mandi. Sibuk dengan urusannya sendiri, tidak mau peduli kondisi disekelilingnya, hanya segelintir saja yang mau bersosialisasi di tengah masyarakat.

Kehadiran PNPM Mandiri Perdesaan yang masuk diwilayah itu sejak tahun 2007, keadaan itu mulai berubah sedikit demi sedikit seiring dengan berubahnya pola pikir perempuan untuk maju dan berkembang dengan segenap potensi yang mereka miliki. mereka mulai mengikuti pertemuan pertemuan, bahkan dengan latar belakang suku dan etnis yang berbeda-beda, ada suku Makassar, Jawa, Bugis, dan Mandar mereka mulai membuat kelompok-kelompok dengan berbagai kegiatan yang beragam, diantaranya : pengajian, arisan, olah raga, dan lain-lain sebagainya.

Selama penulis mendampingi kelompok Sipatuo, berbagai hal telah dilakukan dalam mengantar kelompok menggali dan menemukan potensinya untuk menjadi kelompok yang kuat, diantaranya menguji kedisplinan, komitmen, dan kepedulian kelompok melalui Latihan Wajib Kelompok (LWK) selama delapan kali dan setiap pertemuan dilaksanakan selama 2 (dua) jam, kemudian diajak secara bersama-sama membuat kesepakatan yang tujuannya lebih menguatkan kelompok, misalnya : berapa kali anggota hadir dalam pertemuan baru bisa dikatakan anggota tetap dan berhak mendapatkan pinjaman, selama pertemuan tidak boleh makan dan minum, peserta tidak boleh meninggalkan tempat selama LWK berlangsung, setiap anggota yang hadir membawa uang  Rp. 500 untuk ditabung dan dijadikan modal kelompok.

Selain kesepakatan aturan, ada juga sanksi yang diberikan kepada setiap anggota yang melanggar kesepakatan, diantaranya : apabila malas hadir pertemuan dikeluarkan dari kelompok atau tetap dipertahankan tetapi ada perjanjian dan kesepakatan anggota dalam kelompok, penundaan pemberian pinjaman bagi anggota yang malas mengikuti pertemuan kelompok.

Sebenarnya, pendampingan ini dimaksudkan sebagai bentuk penyadaran akan pentingnya berkelompok, tidak hanya sekedar mau meminjam lalu membuat kelompok siluman, tapi yang lebih penting adalah  bagaimana setiap anggota dalam kelompok ada saling membagi pengalaman, saling membantu, saling menolong, dan ikut merasakan kekurangan dan kelebihan dari masing-masing anggota, dan yang lebih penting adalah ada ikatan emosional yang kuat diantara sesama anggota.

Selanjutnya, setelah kelompok sadar akan pentingnya berkelompok, barulah diberikan ketrampilan dan pemahaman pengelolaan keuangan kelompok, pengelolaan keuangan rumah tangga, pengadministrasian kelompok, kelayakan usaha kelompok, dan lain-lain sebagainya.

Setelah dianggap kuat, difasilitasilah untuk menjadi Kelompok Simpan Pinjam, akhirnya pada akhir Februari 2008, kelompok ini dengan anggota awal sebanyak 20 orang mengajukan permohonan pinjaman SPP kepada Unit Pengelola Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Kec. Budong-Budong, dan setelah dilakukan verfikasi usulan kelompok ini dianggap layak untuk mengelola dana, maka diberikanlah modal awal sebagai modal kerja sebanyak   Rp. 40.000.000,- dengan bunga 18% per tahun menurun, rata-rata pemberian per anggota sebesar Rp. 2.000.000,-.

Dari dana yang diberikan kepada masing-masing anggota tersebut, ada beberapa kegiatan usaha yang mereka kembangkan, diantaranya : Menenum, Pembuatan Tempe, Jual Sayur-Sayuran, Jual Baju dengan sistem cicilan, dll sebagainya.

Khusus untuk kegiatan pembuatan tempe, setiap harinya mereka membutuhkan bahan baku 20 Kg yang diambil dari masyarakat secara langsung yang dulunya sebelum ada modal   dari PNPM-MPd bahan baku tersebut tidak dibayar langsung, sehingga biayanya agak mahal, namun mereka agak lega setelah diberikan bantuan, setelah selesai dibuat, kemudian tempe tersebut dipasarkan melalui paggandeng (penjual keliling yang memakai sepeda), dari hasil tersebut setiap harinya keuntungan bersih yang mereka dapatkan sebesar 35.000.

Melihat kelompok sudah mulai berkembang, penulis menfasilitasi pertemuan kelompok dengan anggota dan disepakati beberapa kesepakatan secara tertulis untuk mengembangkan kelompok, diantaranya:

  • Pengelolaan Administrasi kelompok yang lebih baik oleh sekretaris
  • Pencatatan pada buku kas harian dilakukan secara kontinue
  • Tabungan anggota kelompok, tidak perlu besar yang penting setiap anggota disiplin dalam menabung
  • Dipersyaratkan bahwa setiap anggota baru yang akan diberikan pinjaman, paling tidak harus menjadi anggota penabung minimal 1 bulan
  • Dibuat kesepakatan kepada anggota peminjam melalui PNPM-MP, bisa dilakukan pengembalian setiap hari, mingguan, misalnya si A, pembayaran yang harus dikembalikan ke kelompok untuk disetor ke UPK setiap bulannya Rp. 300.000 (bunga + pokok), maka kalau disepakati pengembalian perhari, maka si A harus membayar Rp. 30.000 (ditambah 10% tabungan atau Rp. 3000), dana sebesar ini kalau dikumpulkan dari 20 anggota, maka setiap harinya dana bisa masuk Rp. 600.000+60.000 (Tabunga) = 660.000,-
  • Dari dana Rp. 660.000,- yang terkumpul setiap harinya, supaya tidak mengendap maka bisa diberikan kepada anggota baru, terutama pedagang-pedagan kecil yang butuh modal dari Rp. 100.000 – 300.000 dengan jangka waktu pinjaman 1 bulan yang diangsur setiap harinya bersama dengan bunganya, hal ini dilakukan untuk menghentikan prilaku  pemberian pinjaman dengan bunga tinggi oleh rentenir (linta darat).
  • Biaya operasional berupa ATK, honor penagih, biaya pertemuan, biaya social dibebankan dari pendapatan operasional kelompok dan dipertanggungjawabkan setiap bulannya kepada anggota

Langkah awal dari kesepakatan tersebut, kelompok memberikan pinjaman bervariasi ke pedagang-pedagang kecil, mulai Rp. 300.000,- s.d Rp. 500.000,- dengan bunga pinjaman 5% setiap bulannya ditambah dengan tabungan. Walhasil, berdasarkan informasi dari ketua Kelompok SPP Sipatuo, jumlah anggota baru per 31 Mei 2009 sebanyak 10 orang dengan jumlah tabungan anggota tabungan yang digulirkan Rp. 6.000.000,-.  Sedangkan, untuk kegiatan sosial misalnya untuk pengantin, kematian dialokasikan sebesar Rp. 100.000,- per bulannya.

Selain itu, sudah disepakati setiap akhir tahun pembagian surplus akan digunakan untuk penambahan modal kelompok, kegiatan sosial, dan penambahan modal anggota.

Belajar dari perjalanan kelompok SIPATUO yang awalnya hanya berbekal semangat untuk bertemu dan kemudian melakukan kegiatan Simpan Pinjam, kini sudah berkembang, penulis teringat dengan penegasan Fajar Jarwo saat membawakan materi Pemberdayaan Masyarakat pada TOT Pelaku Pemberdayaan Masyarakat di Kota Makassar beberapa waktu lalu, beliau mengatakan ”Kalau mau buat kapal, jangan sekali-kali cepat suruh masyarakat untuk mencari kayu, kalau anda mau menyekolahkan anak jangan langsung mendaftarkannya sebelum ia sadar bahwa sekolah itu susah dan butuh pengorbanan”.

Dari apa yang disampaikan Fajar Jarwo, penulis ingin menambahkan ”Jangan sekali-kali memberikan uang (pinjaman) kepada masyarakat sebelum mereka sadar pentingnya uang, mengetahui bagaimana cara mengelola uang, dan kalau pun terlanjur memberikannya jangan biarkan mereka berjalan sendiri, tapi bimbinglah mereka, ajari mereka bagaimana mengelola dan mengatur uang dengan baik agar menghasilkan, tingkatkan kapasitasnya secara terus menerus”.

Namun demikian, bila dicoba menggali saripatinya secara mendalam terhadap proses yang terjadi dari Kelompok Sipatuo dari proses awal hingga kemudian berhasil membuka mata-mata ibu untuk berkembang, nampak jelas bahwa proses penguatan dan penyadaran secara berkesinambungan tanpa menghilangkan nilai-nilai dan potensi budaya yang ada di masyarakat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan yang ada dimasyarakat, terutama masyarakat miskin yang ada didesa.

Kalau begitu, perubahan wajib adanya dimulai dari desa, meminjam istilah Prof. Muhammad Yunus, peraih Nobel yang berhasil mengentaskan kemiskinan dengan pola GRAMEEN BANKnya dan ditiru oleh ratusan negara termasuk Indonesia, beliau mengatakan ”untuk membangun sebuah bangsa, bangunlah desanya”.

Dan yang takkala pentingnya adalah, bagaimana seorang fasilitator mampu menghadirkan dirinya sebagai teladan dan berbuat secara ikhlas kepada masyarakat. Rumusnya, jangan ambil uang mereka, berilah apa yang kita miliki dan jangan harap kembali,  bimbing mereka, bantu mereka, berpikirlah untuk mereka, satukan hati dan perasaaan kita hanya untuk mereka.

Pesan agama mengatakan setiap kebaikan yang kita berikan kepada orang dengan penuh ketulusan dan keikhlasan adalah tabungan enerti positif, suatu saat kita akan merasakan hasilnya tanpa kita duga dari mana datangnya.  Kalau ini yang tanamkan sejak dini dalam diri setiap fasilititator sebagai ”Pejuang Pemberdayaan” (istilah Dr. Syahrir Kube)   maka yakinlah perubahan pasti akan terjadi, begitu pun sebaliknya.

Pengalaman pribadi penulis menjadi pendamping masyarakat bahwa  ketika kita bekerja secara profesional terkadang harus mendapatkan teror dan ancaman nyawa dari oknum atau kelompok tertentu yang tidak ingin melihat adanya perubahan, karena ketika terjadi perubahan maka dengan sendirinya mereka akan terpinggirkan di tengah masyarakat.

Karena itu perlu ada keyakinan dan percaya diri yang tinggi bahwa ketika kebenaran ditransparankan ditengah masyarakat, pasti akan menuai kritik, sebagaimana dahulu para Nabi tidak sedikit menuai kritikan, cemohan, pengusiran, dan ancaman nyawa justru tidak membuat mereka berhenti menyampaikan kebenaran kepada ummatnya.

Inilah contoh komitmen yang sangat luar biasa, yang mestinya  dipegang oleh seorang fasilitator sebagai  social of change dan social of control ditengah masyarakat, ketika seorang fasilitator diteror, dicemoh, dicaci maki maka berpositif thingkinlah bahwa mereka belum mengetahui apa-apa. Maka tugas kita meluruskannya sampai mereka betul-betul tahu. Biarkan mereka menghantam kita dari segala lini yang penting kita berjalan saja sesuai dengan aturan dan mekanisme yang berlaku, kata Mario Teguh yang saat menjadi motivator papan atas dengan Golden Waysnya ”Lakukan apa yang anda pikirkan, lalu lihat apa yang terjadi…  Terima Kasih.

Tentang PNPM-MP SULTRA
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Provinsi Sulawesi Tenggara

Tinggalkan komentar